Ibadah kurban adalah ibadah tahunan. Oleh karena itu, dianjurkan untuk dilakukan setiap tahun sesuai kemampuan. Terkait kurban atas nama orang yang sudah meninggal, dapat dirinci sebagai berikut:
Pertama
Orang yang meninggal bukan sebagai sasaran kurban
utama, namun statusnya mengikuti kurban keluarganya yang masih hidup.
Misalnya, seseorang berkurban untuk dirinya dan keluarganya, sementara ada
di antara keluarganya yang telah meninggal. Berkurban jenis ini dibolehkan dan
pahala kurbannya meliputi dirinya dan keluarganya, termasuk yang sudah
meninggal.
Syaikh Ibn Utsaimin mengatakan, “Adapun mayit termasuk salah satu yang
mendapat pahala dari kurban seseorang, ini berdasarkan hadits bahwasanya Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam berkurban untuk dirinya dan keluarganya. Sementara
keluarga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mencakup istrinya yang
telah meninggal dan yang masih hidup. Demikian pula ketika Nabi berkurban untuk
umatnya. Di antara mereka ada yang sudah meninggal dan ada yang belum
dilahirkan. Akan tetapi, berkurban secara khusus atas nama orang yang telah
meninggal, saya tidak mengetahui adanya dalil dalam masalah ini.” (Syarhul
Mumthi’, 7:287).
Kedua
Berkurban khusus untuk orang yang meninggal karena
mayit pernah mewasiatkan agar keluarganya berkurban untuk dirinya setelah dia
meninggal.
Berkurban untuk mayit untuk kasus ini diperbolehkan jika dalam rangka
menunaikan wasiat si mayit, dan nilai biaya untuk kurban, kurang dari sepertiga
total harta mayit.
Terdapat hadits dalam masalah ini, dari Ali bin Abi Thalib radliallahu
‘anhu, bahwa Nabi pernah berkurban dengan dua ekor kambing. Ketika
ditanya, Nabi menjawab: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
pernah berwasiat kepadaku agar aku berkurban untuknya. Sekarang saya berkurban
atas anamanya.” Hadits ini diriwayatkan Abu Daud dan Tirmudzi, namun status hadits ini
dhaif, sebagaimana keterangan Syekh Al-Albani dalam Dhaif Sunan Abi Daud,
no. 596.
Ibn Utsaimin mengatakan, “Berkurban atas nama mayit, jika dia pernah berwasiat yang nilainya kurang dari sepertiga hartanya, atau dia mewakafkan hewannya maka wajib ditunaikan…” (Risalah Fiqhiyah Ibn Utsaimin, Ahkam Udhiyah)
Syekh juga mengatakan, Karena Allah melarang untuk mengubah wasiat, kecuali jika wasiat tersebut adalah wasiat yang tidak benar atau wasiat yang mengandung dosa, seperti wasiat yang melebihi 1/3 harta atau diberikan kepada orang yang kaya. Allah berfirman:
فَمَنْ خَافَ مِن مُّوصٍ جَنَفًا أَوْ إِثْمًا فَأَصْلَحَ بَيْنَهُمْ فَلاَ إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
“(Akan tetapi) Barangsiapa khawatir terhadap orang yang berwasiat itu, berlaku
berat sebelah atau berbuat dosa, lalu ia mendamaikan antara mereka, maka
tidaklah ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.” (QS. Al-Baqarah: 182).
Wasiat untuk berkurban tidak termasuk penyimpangan maupun dosa, bahkan
termasuk wasiat ibadah harta yang sangat utama.”(Risalah Dafnul Mayit,
Ibn Utsaimin, Hal. 75)
Ketiga
Berkurban khusus untuk orang yang telah meninggal
tanpa ada wasiat dari mayit.
Ulama berselisih pendapat dalam masalah ini. Sebagian ulama madzhab hanbali
menganggap ini sebagai satu hal yang baik dan pahalanya bisa sampai kepada
mayit. Mereka mengkiyaskan (menyamakan) dengan sedekah atas nama mayit.
Disebutkan dalam fatwa Lajnah Daimah ketika ditanya tentang hukum berkurban atas
nama mayit, sementara dia tidak pernah berwasiat. Mereka menjawab, “Berkurban
atas nama mayit disyariatkan. Baik karena wasiat sebelumnya atau tidak ada
wasiat sebelumnya. Karena ini masuk dalam lingkup masalah sedekah (atas nama
mayit).” (Fatwa Lajnah, 21367).
Akan tetapi menyamakan ibadah kurban dengan sedekah adalah analogi yang
kurang tepat. Karena tujuan utama berkurban bukan semata untuk sedekah dengan
dagingnya, tapi lebih pada bentuk mendekatkan diri kepada Allah dengan
menyembelih.
Syaikh Ibn Utsaimin mengatakan, “Pada kenyataannya, ibadah kurban tidak
dimaksudkan semata untuk sedekah dengan dagingnya atau memanfaatkan dagingnya.
Berdasarkan firman Allah:
لَنْ يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَاؤُهَا وَلَكِنْ يَنَالُهُ
التَّقْوَى مِنْكُمْ
“Dagingnya maupun darahnya tidak akan sampai kepada Allah, namun yang
sampai kepada kalian adalah taqwa kalian.” (QS. Al-Haj: 37)
Namun yang terpenting dari ibadah
kurban adalah mendekatkan diri kepada Allah dengan menyembelih.” (Syarhul
Mumthi’, 7:287). Sementara itu, sebagian ulama’ bersikap keras dan menilai
perbuatan ini sebagai satu bentuk bid’ah, mengingat tidak diketahui
adanya tuntunan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam maupun para
sahabat bahwa mereka berkurban secara khusus atas nama orang yang telah
meninggal.
Syaikh Ibn Utsaimin mengatakan, “Sesungguhnya Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam memiliki beberapa anak laki-laki dan
perempuan, para istri, dan kerabat dekat yang ia cintai, yang meninggal dunia
mendahuluinya. Namun, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah
berkurban secara khusus atas nama salah satu diantara mereka. Nabi tidak pernah
berkurban atas nama pamannya Hamzah, istrinya Khadijah juga Zainab binti
Khuzaimah, dan tidak pula untuk tiga putrinya dan anak-anaknya radliallahu
‘anhum. Andaikan ini disyariatkan, tentu akan dijelaskan oleh Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, baik dalam bentuk perbuatan maupun ucapan. Akan tetapi,
seseorang hendaknya berkurban atas nama dirinya dan keluarganya. (Syarhul
Mumthi’, 7:287).
Meskipun demikian, Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah
tidaklah menganggap bentuk berkurban secara khusus atas nama mayit sebagai
perbuatan bid’ah. Syekh mengatakan, “Sebagian ulama mengatakan, berkurban
secara khusus atas nama mayit adalah bid’ah yang terlarang. Namun vonis bid’ah
di sini terlalu berat. Karena keadaan minimal yang bisa kami katakan bahwa
kurban atas nama orang yang sudah meninggal termasuk sedekah. Dan terdapat
dalil yang shahih tentang bolehnya bersedekah atas nama mayit” (Syarhul
Mumthi’, 7:287).
Artikel www.KonsutasiSyariah.com
0 komentar:
Posting Komentar